Sinar Mentari dalam Perjalanan Pulang
Setiap pagi, manisku, saat aku baru saja pulang berjalan kaki dari kandang sehabis menjaga sapi menuju rumah mamangku, tempat tinggalku selama di kampung halaman nenekku dari pihak ayah, orang-orang yang berpapasan denganku selalu menyapaku. Sepanjang perjalanan pulang itu, dengan jarak yang hanya ratusan meter dari kandang, membuatku merasa selalu ingin mengulanginya setiap hari.
Kau tahu, manisku, saat aku berpikir akan tinggal beberapa hari di sini, menemani ayah berjualan hewan qurban, aku selalu membayangkan hal-hal yang terus membuatku enggan mengemas pakaian dan mengendarai sepeda motor untuk pergi ke sini, lalu menundanya selama satu hari, mengulanginya di kemudian hari, hingga tiba saatnya ayah memaksaku pergi melalui pesan singkat dengan tanda seru yang jumlahnya lebih banyak dari anggota keluarganya sendiri.
Meninggalkan rumah dan menuju rumah lain, barangkali seperti meninggalkan seorang kekasih karena putus cinta untuk seorang yang lain. Aku harus beradaptasi lagi; dengan selera musik teman-teman yang mengaku teman masa kecilku, apa yang mereka lakukan di tongkrongan, apa yang mereka suka dan tidak, dan seterusnya, dan seterusnya. Aku tak suka memulai itu ketika hal-hal yang kumiliki telah sempurna untuk hidupku selama ini.
Oh, aku juga takut kalau tinggal di sini membuatku sulit menemuimu karena aku selalu membayangkan jarak rumah nenekku lebih jauh dari jarak yang selama ini kita tempuh. Aku selalu berpikir lebih baik pergi ke luar kota daripada ke rumah nenek. Sebab menuju rumah nenek, meski pegal di pantatku dan jarak yang kutempuh sama jauhnya dengan, misalnya, Cambodia, ia tetap menempatkanku di Karawang.
Manisku, aku sudah tinggal selama satu pekan di sini. Aku mulai akrab dengan beberapa orang, teman kecil saat usiaku enam. Mereka masih mengenalku meski aku tidak. Mungkin karena wajahku yang tidak berubah, badanku yang tetap kecil dan kurus seperti saat mereka mengenalku dulu, atau karena, entah aku tidak tahu.
Aku sering ditemani mereka selama menjaga sapi-sapi di kandang, berbagi tempat duduk, mendengarkan mereka berbagi pengalaman-pengalaman yang mereka miliki, ikut menertawakan hal-hal yang mereka anggap lucu, dan seterusnya, dan seterusnya. Salah satu di antara mereka bahkan ada yang mau kurepotkan untuk mengantarku pulang lalu menjemputku lagi empat hari kemudian. Kepulangan yang saat itu kupikir akan membawaku kepadamu.
Manisku, aku diterima dengan baik di sini, bukan hanya oleh orang-orang yang seusia denganku, tetapi juga mereka yang jauh lebih dewasa dariku. Kadang kala, meski usia mereka berbeda, mereka sama-sama lucu. Aku senang ketika, misalnya, sekelompok orangtua berkumpul di kandang, menemani ayahku, mengobrol dan bergurau. Aku menyaksikan itu saban sore, ketika kami semua lelah dengan pekerjaan mengurus sapi-sapi di kandang. Seolah mereka tahu bagaimana cara memulihkan energi. Seolah mereka mengerti, handuk bukan satu-satunya alat untuk membasuh keringat di tubuh mereka.
Tertawa saja, mungkin itu yang mereka pikirkan dan cara yang mereka pilih sore itu.
Meski aku tetap tidak suka nyamuk-nyamuk di sini, manisku, aku mau menyelesaikannya hingga Iduladha. Aku akan tinggal di sini membantu orangtuaku. Lagi pula, kebaruan yang kualami, ternyata tak semenyeramkan apa yang kubayangkan. Aku mendapatkan perasaan hangat karena diterima di lingkungan ini.
Aku berharap, dengan perasaan yang kudapat, aku berusia panjang seperti penduduk di Okinawa, sebuah pulau di Jepang yang tersohor berkat rata-rata umur penghuninya yang mencapai seratus. Dan sebuah kehormatan bagiku jika bisa mencapai usia seratus di sampingmu.
Sementara itu dulu, manisku. Aku berdoa kita terus sehat dan bergembira.